Beranda | Artikel
Dalil-Dalil Akal (Dalil Aqli) yang Menunjukkan Tercelanya Bidah (Bag. 1)
Sabtu, 8 September 2018

Diantara perkara yang senantiasa Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam peringatkan kepada umatnya adalah bahaya terjerumus dalam bid’ah. Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam pun mengingatkan hal tersebut dalam berbagai waktu dan kesempatan. Hal ini menunjukkan bahwa perkara bid’ah adalah perkara yang tidak bisa dianggap remeh, namun perkara yang sangat berbahaya. Sayangnya, tidak sedikit diantara umat ini yang bermudah-mudah dan meremehkannya, sehingga mereka pun akhirnya terjerumus ke dalam perbuatan bid’ah.

Dalil-dalil dari dari Al-Qur’an dan As-Sunnah (dalil naqli) sangatlah banyak yang menunjukkan tercelanya perbuatan bid’ah. Di samping itu, terdapat dalil-dalil berdasarkan akal sehat (dalil ‘aqli) yang juga menunjukkan bahwa bid’ah adalah perbuatan yang sangat tercela dan harus dijauhi. Dalam tulisan ini, akan kami sampaikan dalil-dalil akal sehat yang menunjukkan tercelanya bid’ah, agar kita semakin meningkatkan kewaspadaan darinya.

Ahlu bid’ah berarti meralat dan mengoreksi syariat Islam yang sudah sempurna

Hal ini karena konsekuensi yang bisa disimpulkan dari ucapan dan keadaan orang yang gemar berbuat bid’ah (diistilahkan dengan ahlul bid’ah atau mubtadi’) adalah bahwa syariat Islam ini belum sempurna, dan masih tersisa sesuatu (baik sedikit atau pun banyak) yang wajib atau dianjurkan untuk diralat dan dikoreksi. Seandainya dia meyakini bahwa syariat ini sudah sempurna dari semua sisi, tidak mungkin dia berbuat bid’ah dan meralat syariat tersebut. Orang yang mengatakan bahwa syariat ini belum sempurna, tentu saja telah tersesat dari jalan yang lurus.

Syariat Islam ini sudah sempurna, sehingga tidak perlu lagi penambahan dan pengurangan. Hal ini karena Allah Ta’ala berfirman,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al-Maidah [5]: 3)

Demikian pula dalam hadits yang diriwayatkan dari sahabat ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا، لَا يَزِيغُ عَنْهَا بَعْدِي إِلَّا هَالِكٌ، مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِمَا عَرَفْتُمْ مِنْ سُنَّتِي، وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ، عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ،

“Aku tinggalkan kepada kalian (jalan petunjuk) yang terang benderang, malamnya bagaikan siang. Tidak ada yang berpaling darinya setelahku, kecuali akan binasa. Barangsiapa di antara kalian yang masih hidup nanti, dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib atas kalian untuk berpegang dengan apa yang kalian ketahui dari ajaranku, dan sunnah (ajaran) khulafaur rasyidin yang mendapatkan petunjuk (baik petunjuk dalam ilmu maupun amal, pen.). Gigitlah ajaran tersebut dengan gigi geraham kalian (yaitu, gigi yang paling kuat untuk menggigit, pen.). “ (HR. Ibnu Majah no. 43, hadits shahih)

Demikian pula, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan bahwa beliau telah menyampaikan semua yang dibutuhkan oleh seorang hamba berkaitan dengan kehidupan akhirat dan agamanya. Artinya, semua hal yang mendekatkan ke surga dan menjauhkan dari nereka telah diajarkan dan ditunjukkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبِيٌّ قَبْلِي إِلَّا كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ، وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ

“Sesungguhnya tidak ada satu pun Nabi sebelumku, melainkan wajib baginya untuk menunjukkan kebaikan yang dia ketahui kepada umatnya dan memperingatkan umatnya dari keburukan yang dia ketahui.” (HR. Muslim no. 1844)

Diriwayatkan dari sahabat Abu Dzarr Al-Ghifari radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

تَرَكْنَا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَمَا طَائِرٌ يُقَلِّبُ جَنَاحَيْهِ فِي الْهَوَاءِ، إِلَّا وَهُوَ يُذَكِّرُنَا مِنْهُ عِلْمًا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan kami dan tidak ada seekor burung pun yang mengepakkan kedua sayapnya di udara, kecuali beliau telah mengajarkan ilmunya kepada kami.”

Kalimat tersebut menggambarkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan semua hal yang berkaitan dengan ajaran agama Islam, bukan tentang ilmu duniawi.

Kemudian sahabat Abu Dzarr Al-Ghifari radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ، ويُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ، إِلَّا وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ

“Tidak tersisa satu pun yang mendekatkan ke surga dan menjauhkan dari neraka, kecuali telah aku jelaskan kepada kalian.” (HR. Ath-Thabrani dalam Mu’jam Al-Kabir no. 1647, shahih)

Oleh karena itu, siapa saja yang lancang berbuat bid’ah, konsekuensinya dia telah menuduh bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak amanah (berkhianat) dalam menyampaikan wahyu kenabian. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Imam Malik bin Anas rahimahullah,

من ابتدع في الإسلام بدعة يراها حسنة، زعم أن محمدا صلى الله عليه وسلم خان الرسالة، لأن الله يقول: {اليوم أكملت لكم دينكم} ، فما لم يكن يومئذ دينا، فلا يكون اليوم دينا

“Barangsiapa yang membuat-buat bid’ah dalam agama ini dan dia pandang baik, maka sesungguhnya dia telah menuduh bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhianat ketika menyampaikan risalah (wahyu). Karena Allah Ta’ala berfirman, ’Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu’. Maka segala sesuatu yang tidak menjadi bagian dari agama pada hari itu, tidak akan pula menjadi bagian dari agama pada hari ini.(Al-I’tisham, 1: 49)

Ahlu bid’ah berarti menentang dan melawan syariat

Hal ini karena syariat telah menentukan jalan yang harus ditempuh oleh setiap hamba yang ingin menuju kepada Rabb-nya dan syariat telah membatasi bahwa hanya ada satu jalan yang dapat mengantarkan seseorang menuju surga Allah Ta’ala. Syariat pun telah menjelaskan bahwa kebaikan adalah dengan mengikuti dan meniti jalan tersebut, sedangkan sumber kejelekan dan kebinasaan adalah dengan menentang jalan tersebut dan memilih jalan-jalan yang lainnya.

Allah Ta’ala berfirman,

وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Dan bahwa (yang kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia. Dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.“ (QS. Al-An’am [6]: 153)

Dalam ayat di atas, Allah menggunakan kata tunggal (singular) untuk menyebutkan jalan yang lurus (shirath), yang mengisyaratkan bahwa jalan kebenaran menuju Allah itu hanya ada satu jalan. Yaitu jalan (cara dan metode beragama) yang ditempuh oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum. Sedangkan untuk jalan kesesatan, Allah gunakan kata jamak (plural), yang menunjukkan bahwa jalan kesesatan (subul) itu banyak dan berbilang.

Konsekuensi dari bid’ah yang dilakukan oleh ahlu bid’ah adalah bahwa mereka menolak dan menentang ini semua. Karena konsekuensinya, mereka menyangka bahwa di sana ada jalan kebaikan yang lain, tidak terbatas pada satu jalan yang telah dikhususkan dan digariskan oleh syariat tersebut. Seolah-olah pembuat syariat itu tidak mengetahui adanya jalan kebaikan yang lain, sedangkan dia-lah (ahlu bid’ah) yang mengetahuinya, dan kita pun juga tidak tahu, hanya dia-lah (ahlu bid’ah) yang mengetahuinya.

Oleh karena itu, ketika sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengingkari orang yang berbuat bid’ah dalam tata cara berdzikir, beliau mengatakan,

إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِيَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أوْ مُفْتَتِحُو بَابِ ضَلَالَةٍ

“Apakah kalian berada di atas agama yang lebih mendapatkan petunjuk daripada agama Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau sebenarnya kalian sedang membuka pintu-pintu kesesatan?” (Diriwayatkan oleh Ad-Darimi dalam Sunan-nya no. 204 dengan sanad yang hasan)

Benarlah apa yang beliau katakan. Hal ini karena hanya ada dua kemungkinan bagi ahlu  bid’ah:

Pertama, mereka menyangka bahwa mereka lebih mendapatkan petunjuk dari agama Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan keyakinan semacam ini, tentu saja kekafiran.

Kedua, mereka sedang membuka pintu-pintu kesesatan dalam agama ini.

[Bersambung]

***

@Sint-Jobskade 718 NL, 22 Syawwal 1439/ 6 Juli 2018

Oleh seorang hamba yang sangat butuh ampunan Rabb-nya,

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.Or.Id

🔍 Kajian Muslim, Pengertian Hakikat Islam, Hukum Berkata Kasar, Rukun Puasa Ada, Sholat Sunnah Sebelum Subuh Niat


Artikel asli: https://muslim.or.id/42221-dalil-dalil-akal-dalil-aqli-yang-menunjukkan-tercelanya-bidah-bag-1.html